Halaman

Friday, January 13, 2012

Kamus Jepang (Ala Sunda): Indonesia

Taramahi Sateko : Orang yang suka haus 
Tarasuka Sare isha : Tukang Begadang
Satoko Kabayane : Toko Baju Sunda
Kutasuka maru : Wanita yang tidak mau dimadu
Akina Takada : Sudah gak punya kakek
Ayashima Nagihna : Debt Collector
Yukari Moto : Tukang Potret Panggilan
Yukuda Makuda :Kusir delman
Seisha Kaligata :Punya penyakit kulit
Anusuka Kashima : orang penakut
Katara Igana : Peoooot
Masutaka Karineke : Botak
Kagashuka Koto : orang yg suka bersih
Akiko Masinete : kakek-kakek yang masih suka menyusu
Awakamu Kayanaga : Bodynya Bauuu
Aiku Sukabasa : Ahli Bahasa
Asakafuji : orang yang suka dipuji
Sayuri Sugitani : Petani sayuran yang kaya
Kamisuka Sato : Suka melihara Binatang
Saito Ayami : Soto Ayam
Nikita Sukanari : Tukang Tari
Kitakasi Mura : Obral
Karimake Mukena : Sudah Wudlu
Kasura Tayatanaga : Lemes gara-gara kasura (tertusuk)
Nusiga Kaburasoto : Rambut Klimis
Kurasa Takada : Euwuh, Tidak Ada
Miyabie Ayame : Mie Ayam
Kokoro Sakurata : manusa Paling Miskin


Sumber : Cakakak Selengkapnya...

Tuesday, January 10, 2012

TINJAUAN ASPEK LEGAL DALAM KEPERAWATAN

Pendahuluan


Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 63 ayat (4) yang berbunyi “Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Hal ini memberi arah bahwa siapapun tenaga kesehatan yang akan menangani klien/pasien harus mempunyai kompetensi yang cukup untuk dapat memberikan asuhan sesuai dengan kewenangannya yang mungkin akan dapat memberikan kenyamanan kepada pasien sebagai customer dari pelayanan kesehatan.

Praktisi kesehatan harus mampu menggunakan berbagai telaahan ilmiah, legal – etis, praktis dan juga colegial dalam upaya untuk memberikan asuhan yang tepat kepada pasien serta juga menggunakan pendekatan Humanistik dalam mengimplementasikan berbagai tindakan yang dilakukannya. Akibatnya siapapun yang sudah berkecimpung dan memegang profesi dalam bidang kesehatan harus mempunyai kemampuan yang memadai dalam mengatasi pasiennya secara ilmiah dengan jalan mengetahui rasional setiap tindakan, secara legal dan etis untuk mengetahui tindakannya tidak melanggar norma yang ada, secara praktis dalam hal menjalankan standar asuhan, colegial dalam berhubungan dengan tim kesehatan lainnya dan juga secara humanistik dalam memperlakukan pasien sebagai subjek dan objek dalam pelaksanaan asuhannya.

Kegiatan keperawatan ditujukan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan pasien dan kemandirian pasien dalam menangani masalah yang menghadang pada dirinya. Untuk dapat terjadi hal tersebut maka diperlukan suatu regulasi yang dapat menuntun profesi keperawatan melaksanakan aktifitasnya sehingga pasien sebagai subjek dan objek dari tindakan keperawatan mendapatkan kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan.
Selengkapnya...

Monday, January 9, 2012

Pendekatan Skala Dalam Penelitian

Jika kita membahas mengenai tes prestasi, maka pendekatan yang dilakukan untuk mengevaluasi hasil belajar atau untuk menilai kemampuan intelektual dari suatu tes prestasi umumnya digunakan taksonomi Bloom. Berbeda dengan pengembangan skala yang tentunya tidak menggunakan taksonomi Bloom sebagai patokannya.


Pada tes prestasi, subjek dapat memberikan jawaban yang benar atau salah pada suatu pertanyaan tertentu. Pada setiap pertanyaan, jawaban yang benar akan mendapatkan nilai atau bobot 1, sedangkan pada jawaban yang salah akan mendapatkan nilai atau bobot 0. Jika seseorang memiliki penguasaan yang baik dalam tes prestasi tersebut, maka bobot atau nilai pada pertanyaan-pertanyaan yang diujikan akan mendapatkan nilai total tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika nila/bobot rendah, maka penguasaannya dianggap rendah pula. Sementara itu untuk skala terdapat perebedaan karakter, dimana respons subjek merupakan afek yang positif (kesetujuan) dan afek yang negatif (ketidaksetujuan). Masing-masing respons tersebut akan memperoleh bobot atau nilai tertentu, meski demikian dalam skala seseorang tidak dapat menilai benar-salah
Selengkapnya...

Tuesday, January 3, 2012

ANALISIS STATISTIK DENGAN EXCEL

Membuat pengolahan data penelitian atau data administrative tidak selalu dengan program-program statistik, ternyata microsoft Excel juga mampu melakukan hal tersebut.
Seorang mahasiswa kebingungan saat diberi tugas dosennya untuk membuat data statistik, karena pada laptop maupun PC nya tidak ada program statistik. Dalam benaknya, data statistik harus diolah dengan program statistik, misalnya SPSS, SAS, dan lain sebagainya.Yang lebih lucu lagi mahasiswa tersebut justru kaget begitu diberitahu bahwa data statistik dapat diolah dengan program Excel. Dia mengira bahwa Microsoft Excel hanya ada fungsi-fungsi statistik yang pemakaiannya sangat terbatas pada statistik itu sendiri.

Statistic adalah ilmu dan seni atau teknik untuk mengumpulkan data, menyajikan data, mengumpulkan data dan mengambil kesimpulan berdasarkan data yang berhasil dihimpun.
Selengkapnya...

INFORMED CONSENT

“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi, urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut :
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping, seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan eksperimen dengan berobjekan pasien.
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.
Selengkapnya...